dengan memanusiakan manusia.” —Rappler.com Bagaimana membuat sistem yang bisa menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru, Kondisinya tak sesederhana itu. ada banyak kondisi serupa. saya dengar dari kawan difabel lain, “Di lapangan,
Ada jarak antara siswa difabel dan yang lain,” kata Ida. mungkin lingkungan pendidikan sudah memiliki sarana tetapi sistem pendidikannya belum. “Seperti perisakan kepada mahasiswa autis di Universitas Gunadarma itu,
agar difabel mendapat kepercayaan diri dan masyarakat juga melihat difabel sebagai anggota komunitas yang sama. difabel dan masyarakat butuh ruang yang sama untuk berbaur, Menurutnya, menyediakan sarana dan fasilitas untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Namun sistem mengalami perubahan dan kini pendidikan diwajibkan menjadi sekolah inklusi,
tanpa melihat kondisi fisik. sekolah hanya melihat Nilai Ebtanas Murni (NEM) sebagai indikator diterima atau tidak, Saat ia masih menjadi seorang pelajar, Ida mengaku beruntung tumbuh di lingkungan keluarga yang suportif dan sekolah yang tak membedakan kondisinya.
Titik Isnaini. PAUD tersebut berjalan dengan bantuan rekan difabel yang lain,
Keluarga dan lingkungan berperan banyak dalam memberikan rasa percaya diri bagi difabel,” katanya. Mereka juga punya potensi dan kebutuhan berbeda. Satu pengguna kursi roda tak bisa disamakan dengan pengguna kursi roda yang lain. “Difabel adalah manusia.
Mereka juga punya potensi dan kebutuhan berbeda." Satu pengguna kursi roda tak bisa disamakan dengan pengguna kursi roda yang lain. “Difabel adalah manusia.
hal ini bermula dari meningkatkan pengertian untuk mengikis diskriminasi dan meningkatkan rasa percaya diri kepada difabel sejak dari lingkungan keluarga. Ia mengatakan,
dan mampu membangun jembatan pengertian antara mereka dan masyarakat. sekaligus memiliki sistem yang tidak menganaktirikan difabel, Ia bercita-cita menciptakan pendidikan yang memberikan sarana terhadap pelajar difabel, PAUD itu berdiri untuk mengikis jurang segregasi yang tercipta antara masyarakat dan kaum difabel. sejak 2015. Boyolali, Kecamatan Muso, Ida juga merintis PAUD di Desa Ringinlarik, Selain bekerja,
Pendidikan untuk semua
Pekerjaan baru sebagai Project Officer di Orgainsasi Harapan Nusantara (Ohana) di Yogyakarta menyambut dan mulai dijalani sejak pertengahan Juli 2017 ini.
karena sejak sekolah sudah sering membaca buku terjemahan dan banyak tahu tentang Amerika dan yang lain,” ucapnya. Saya sendiri tak takut, “Yang susah adalah meyakinkan orangtua bahwa saya akan baik-baik saja di luar negeri.
ia tak pernah merasa takut dengan yang asing dan berpetualang di negara lain. Bermodal banyak membaca buku, Ida sukses meraih gelar masternya dan pulang ke Indonesia pada Juli 2017 ini.
Filipina. dan beasiswa untuk master di Global Politics dari Departemen Political Science di Universitas Ateneo di Manila, pelatihan jurnalistik di Autralia 2015, berlanjut menjadi peserta konferensi pariwisata aksesibel untuk difabel pada 2014, Diawali dengan pelatihan pendek di Amerika Serikat pada Juli-Agustus 2010 tentang pemberdayaan perempuan dan difabel, Upaya berburu beasiswa dan kesempatan belajar di luar negeri juga berbuah manis.
Ida bersama timnya terbiasa bepergian menggunakan transportasi umum mengejar tenggat tulisan. di antaranya sebagai kontributor atau penulis lepas. sejumlah pekerjaan lain mulai singgah, Sejak itu, Ia diterima sebagai pengolah data di Lembaga Kajian Transformasi Sosial (LKTS) di Solo pada 2007 dan bertahan selama lima tahun.
pencarian kerjanya mulai membuahkan hasil. Dengan dukungan tanpa henti dari keluarga, Ida lulus kuliah pada 2004.
Belajar ke Amerika dan meraih gelar master
mesin kerja saja ukurannya lebih besar dari badan saya.” seorang polisi berkata, “Juga ketika mengurus surat keterangan di Tangerang,
kenapa saya tidak dipanggil lagi setelah tes Bahasa Inggris karena nilai saya lolos di lamaran sebelumnya,” kata Ida mengenang. Lamaran kedua dengan panitia yang sama mengatakan heran, Lamaran pertama terhenti setelah tes bahasa Inggris. Saya pernah melamar dua kali di sekolah internasional di Tangerang. pasti tidak dipanggil lagi. “Setelah wawancara,
Pencariannya dimulai di Boyolali hingga berburu pekerjaan selama dua bulan di Jakarta namun dengan hasil nihil. Anak kedua dari tiga bersaudara itu dituntut untuk mandiri dan memiliki pekerjaan dengan bekal ijazah sarjananya. Dunia dirasa berbeda setelah Ida menamatkan kuliahnya.
Bahkan penguji saya ketika sidang skripsi membantu menata meja dan kursi agar sesuai dengan postur saya dan presentasi bisa optimal,” ujarnya. teman-teman sangat membantu. “Guru di sekolah mengizinkan saya tidak ikut mata pelajaran olahraga,
Ida merasa tak mengalami diskriminasi karena kondisinya. Selama masa itu, Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada dan lulus tahun 2004. sebelum berlanjut kuliah di Jurusan Kimia, Sekolah tingkat dasarnya dihabiskan di sekolah negeri favorit di Boyolali, Ayahnya bahkan hingga saat ini selalu ingin mengantarkan Ida ke manapun dia beraktivitas. ia dilahirkan dari pasangan orangtua yang sangat menerima dengan kondisinya. Ida beruntung,
meninggalkan kaki dan lengan,” akunya. Tubuh dan wajah saya berkembang optimal, orangtua saya tak lelah mencari penawar untuk sakit saya dan fokus pada terapi. “Sejak usia 3 tahun,
tetapi lengan dan kakinya tidak. Organ tubuhnya tumbuh dan berkembang, Seorang dokter ortopedi mendeteksi gangguan pengapuran di persendian lengan dan kaki Ida ketika ia berusia 10 tahun.
pada pertengahan Juli. dan konsep itu tidak terjadi pada saya,” kata Ida kepada Rappler, Tapi dunia ini masih sangat idealis, tentu tidak akan menjadi masalah. selama saya mampu, “Apapun kondisi fisik saya,
mesin kerja saja ukurannya lebih besar dari badan saya.” seorang polisi berkata, "Ketika mengurus surat keterangan di Tangerang,
Ida akhirnya merintis Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk mengikis jurang pemisah terhadap difabel di masyarakat. Setelah melalui berbagai rintangan dalam hidup,
akibat mengalami gangguan kesehatan ketika balita. Perempuan kelahiran Boyolali itu memiliki tinggi tubuh 110 cm, itu tak pernah mendapat jawaban pasti mengapa tak juga sukses menembus aneka tahapan tes ketika mencari kerja hingga tiga tahun lamanya. Filipina, dan pemegang gelar master dari Universitas Ateneo de Manila, Yogyakarta, Alumnus Universitas Gadjah Mada,
butuh tiga tahun untuk selamat melewati tahap tersebut dan sukses mendapat pekerjaan. Bagi Ida Puji Astuti Maryono Putri, Indonesia — Tes wawancara dalam proses melamar pekerjaan sering menjadi tahap yang paling ditakuti para pencari kerja. YOGYAKARTA,
Source: Rappler.com
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.